Analisis Puisi Hampa karya Chairil Anwar
A. Unsur IntrinsikHAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.Karya: Chairil Anwar
- Tema
- Pemilihan Kata ( Diksi )
- Perasaan
- Nada dan Suasana
Didalam puisi diatas penyair menggunakan nada-nada yang lugas dan tepat dan menggunakan penekanan-penekanan di beberapa kata yang ditunjukkan untuk memperjelas maksud dari puisi tersebut.
b) Suasana
Suasana yang tergambar dari puisi diatas adalah suasana yang tak menentu gundah gulana menantikan seseorang yang sangat kita nantikan namun tak kunjung memberikan kepastian.
- Bahasa Figuratif ( Majas )
- Amanat
B. Unsur Ekstrinsik
- Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Puisi
- Biografi Penyair
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya.Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik.
- Makna dari puisi di atas
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesakLarik-larik di atas menggambarkan suasana sepi yang teramat sangat. Sepi yang tadinya hanya di luar sampai masuk hingga menekan, mendesak ke dalam, seakan teramat besar dan berat sepi itu. Bahkan sepi yang teramat sangat itu digambarkan Chairil hingga pepohonan saja tidak bergerak sedikit pun, sampai ke puncak pohon. Tidak ada angin semilir yang bisa membuat suara gesekan daun. Keadaan teramat sepi. Hingga sepi itu memagut, seakan menggigit atau memeluk dengan erat dan tak satu pun yang kuasa untuk terhindar dari sepi itu atau bahkan menolong seseorang untuk terhindar dari sepi itu.
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak . Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. MenantiLarik di atas bisa menggambarkan bentuk kekesalan Chairil atas penantian-penantian yang dilakukannya terhadap wanita yang dimaksudnya dalam puisi ini. Dan juga bisa menunjukkan keputus-asaan Chairil dengan perasaannya, yang akhirnya hanya akan berujung pada sepi.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekikLewat larik di atas, Chairil merasakan sebuah penantian atas wanitanya yang semakin lama semakin membuat perasaannya sulit. Memberatkan pikirannya, menjadi beban bagi dirinya (seperti ada beban di pundak yang sangat berat, hingga pundak mencengkung menahan beban itu).
Memberat-mencengkung pundak
Sampai binasa segala. Belum apa-apaLarik di atas seolah mengungkapkan, akibat terlalu sulitnya perasaan yang Chairil rasakan, dan hanya sepi yang menjadi jawaban, maka perasaan itu menjadi binasa, putus asa, kosong, hampa. Belum ada hasil yang ia dapati dari rasanya pada sang wanita, entah itu rasa ingin memiliki, atau sekadar kerinduan, namun kehampaan yang teramat yang ia rasakan, membuat segala harapan seakan binasa.
Udara bertuba. Setan bertempikMenggambarkan suasana yang sudah sangat tidak nyaman. Udara seakan menjadi penuh racun, sesak, dan setan-setan bersorak riuh, berteriak, membuat suasana semakin kacau. Seakan menjadi gelap. Keadaan hampa yang digambarkan Chairil begitu dalam, sunyi, dan suram. Ini sepi terus ada. Dan tiada – sepi itu tak kunjung hilang, bahkan Chairil berpikir, hidupnya memang terkukung sepi, sepi itu terus ada hingga menjadi kebiasaan, dan seakan tiada sepi. Karena memang sepi sudah menjadi bagian darinya. Seperti sudah pasrah terbiasa.
Ini sepi terus ada. Dan tiada
Udara bertuba. Setan bertempik
Dari keseluruhan analisis tubuh puisi HAMPA, jelas puisi ini menggambarkan sebuah kedukaan perasaan seseorang yang tertimpa sepi dalam segala penantiannya. Kekosongan hatinya yang ia rasakan begitu sangat, dan terlebih ketika ia teringat pada wanita yang disukainya. Seakan kehampaan itu semakin menjadi-jadi karena tidak bisa memiliki wanita itu. Bisa jadi, seperti menggambarkan juga tentang cinta sepihak. Dan pada akhirnya ia hanya akan menjadi biasa dengan sepi yang terus ada itu.
Lewat puisi HAMPA ini, Chairil begitu dalam menggambarkan bentuk kesepian, kehampaan yang ia rasakan. Bentuk kerinduan yang sunyi terhadap Sri. Dan perlu diketahui, memang saat menulis puisi ini, Chairil sedang menaruh hati pada Sri
Analisis Puisi Aku Karya Cahiril Anwar
A. MAKNA PUISI ‘AKU’AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
Maret 1943
Dengan membaca dan memahami makna puisi Aku karya Chairil Anwar, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Khususnya, bagi generasi yang hidup di era kemerdekaan. Karena, pada generasi ini, tentu tidak pernah hidup dan mengalami secara nyata apa yang terjadi di era awal kemerdekaan Indonesia. Beberapa makna puisi Aku, di antaranya adalah :
- Wujud kesetiaan dan keteguhan hati atas pilihan kebenaran yang diyakininya. Hal ini tercermin melalui dua kalimat di awal puisi tersebut, yakni “Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu”
- Keberanian dalam berjuang meskipun banyak resiko yang akan dihadapi. Termasuk resiko untuk kehilangan nyawa atau terluka karena senjata musuh. Inilah yang digelorakan oleh Chairil Anwar, yang tersurat pada bait ketiga puisi tersebut.
- Semangat yang tak pernah padam. Sebagaimana yang dinyatakan melalui kalimat “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hal tersebut adalah cermin dan betapa semangat Chairil Anwar untuk berjuang, tidak ingin dibatasi oleh waktu
B. UNSUR INTRINSIK PUISI ‘AKU’
- Tema
- Pemilihan Kata (Diksi)
- Rasa
- Nada dan Suasana
Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih.
b.) Suasana
Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak mengaangap perjuangannya si tokoh.
- Majas
- Pencitraan/pengimajian
- Amanat
- Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
- Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
- Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
- Biografi Pengarang
- Chairil Anwar di Medan, 22 Juli 1922.
- Mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang.
- Dilihat dari esai-esai dan sajak-sajaknya terlihat bahwa ia seorang yang individualis yang bebas dan berani dalam menentang lembaga sensor jepang.
- Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya, hal ini tampak pada sajak-sajaknya: Diponegoro, Karawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, dll.
- Hubungan Karya Sastra Dengan kondisi sosial masyarakat Pada Saat
Karya Sastra Lahir Sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial
masyarakat pada zaman itu. Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak
AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal
ini karena sajaknya terkesan membangkang terhadap pemerintahan Jepang.
- Sajak AKU ini ditulis pada tahun 1943, di saat jaman pendudukan Jepang.
- Kondisi masyarakat pada waktu itu sangat miskin dan menderita.
- Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, tanpa mampu berbuat banyak untuk kemerdekannya.
- Kerja paksa marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
- Bangsa Indonesia menjadi budak di negaranya sendiri.
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’, menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu, dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa ucap yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil sendiri.
1. Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (1).
Kalau sampai waktukuWaktu yang dimaksud dalam kutipan (1) adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Chairil adalah penyair yang sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai keluarnya puisi tersebut.
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayuPada kutipan (2) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembicaraan orang tentang karyanya ini, karena memang inilah yang dicarinya selama ini. Bahkan ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada kutipan (3).
Tidak juga kauKau yang dimaksud dalam kutipan (3) adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk.
Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil atas keduanya.
Tidak perlu sedu sedan ituZaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia pernah mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Dalam kutipan (4), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya.
Biar peluru menembus kulitkuPeluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (5), bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya ‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah.
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik selanjutnya.
Dan aku akan lebih tidak perduliInilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu ketidakpedulian. Pada kutipan (6), bait ini seolah menjadi penutup dari puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang diinginkannya.
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu.
Analisis Puisi Kepada Peminta-Minta Karya Chairil Anwar
“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.Karya : Chairil AnwarBaik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita“ Tokoh aku yang tidak suka mendengar si pengemis meminta-minta sambil memasang wajah susah dan sengsara, bahkan walau keringat banyak bercucuran ia tetap meminta dengan nada yang kasihan sampai ada yang memberinya uang”.
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah“ Dari sudut pandang tokoh aku ia melihat si pengemis selalu meminta belas kasihan di setiap lanngkahnya, mengiba disetiap pandangannya, dan menangis setiap saat dan dia selalu tidur dimanapun dia berada”.
Mengeerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau dating
Sembarang kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku“ Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta-minta”.
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.
Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
B. Unsur Intrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”
Unsur intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam naskah puisi tersebut. Adapun unsur-unsur intrinsic puisi yang berjudul “Kepada Peminta-minta” meliputi:
- Tema
- Tipografi
No
|
Bentuk Puisi
|
Kepada Peminta-minta
|
1
|
Bait
|
Terdapat 5 bait
|
2
|
Baris
|
Tiap bait terdiri dari 4 baris
|
- Perasaan
Perasaan dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama, penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya. Perasaan yang terdapat dalam “Kepada Peminta-minta” mampu mengungkapkan isi hati penyair yang begitu menginginkan pengemis untuk tidak lagi meminta-minta dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Penggunaan kata-katanya sederhana namun dapat membangkitkan perasaan pembaca yang ingin melihat perubahan terhadap cara untuk mencari nafkah. Dalam kalimat
Mengganggu dalam mimpikuPenyair mengungkapkan perasaan yang ingin diutarakan kepada pengemis dimana Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta.
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
- Nada dan Suasana
Baik, baik aku akan menghadap Dia“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
Suasana yang timbul akibat nada yang disodorkan penyair tersebut membuat pembaca setuju bahwa dalam mencari nafkah tidak seharusnya dengan cara meminta-minta selama kita masih mampu untuk berusaha.
- Diksi
Kata-kata yang dipergunakan dunia persajakan di samping memiliki arti denotatif dapat pula memiliki arti konotatif. Berikut perbandingan pemakaian kata-kata konotatif dalam puisi ” Kepada Peminta-minta” tersebut:
Bait
|
Kepada Peminta-minta
|
|
1
|
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)
|
|
2
|
Nanti
darahku menjadi beku
(baris
4)
|
|
3
|
Nanah meleleh dari muka
(baris 1)
|
|
4
|
Mengerang
tiap kau memandang
(baris
2)
|
|
5
|
Menghempas
diri di bumi keras
(baris
2)
|
|
6
|
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)
|
|
7
|
Nanti
darahku menjadi beku
(baris
4)
|
- Citraan
Citraan
|
Kepada
Peminta-minta
|
|
Penglihatan
|
Nanti
darahku jadi beku
(bait 1
& 5, baris 4)
|
|
Telah
tercacar semua di muka
(bait 2,
baris 2 )
|
||
Nanah
meleleh dari muka
(bait 2,
baris 3)
|
||
Sembarang
kau merebah
(bait 3,
baris 4)
|
||
Pendengaran
|
Bersuara
tiap kau memandang
(bait 3,
baris 1)
|
|
Mengaum
di telingaku
(bait 4,
baris 4)
|
||
Gerak
|
Sambil
berjalan kau usap jua
(bait 2,
baris 4)
|
- Gaya bahasa
Dalam puisi Kepada Peminta-minta karya Chairil Anwar terdapat bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4 dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan. Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada kata baik, dalam konteksnya yaitu baik, baik aku akan menghadap Dia.
- Verifikasi
- Majas
Gaya Bahasa
|
Kepada Peminta-minta
|
Hiperbola
|
Nanti darahku jadi beku
(bait 1 dan 5, baris 4)
|
Nanah
meleleh dari muka
(bait 2,
baris 3)
|
|
Menghempas
diri di bumi keras
(bait 4,
baris 2)
|
|
Mengaum
di telingaku
(bait 4
baris 4)
|
- Amanat
C. Unsur Ekstrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”
- Biografi Pengarang
Chairil Anwar dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Chairil Anwar juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J.Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.Umur Chairil memang pendek, 27 tahun.
Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”
- Unsur nilai dalam cerita meliputi nilai ekonomi, politik, sosial, adat-istiadat, budaya, dan lain-lain.
- Nilai ekonomi adalah kita harus berusaha mencari nafkah dan pekerjaan yang lebih baik, buktinya : tokoh aku menginginkan si pengemis mencari nafkah dengan cara yang lebih baik, sehingga si pengemis bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada meminta-minta.
- Nilai sosial adalah kita sesama manusia harus saling membantu dan tolong menolong. Buktinya : tokoh aku membantu si pengemis dengan cara memberikannya uang dan nasihat.
- Nilai politik adalah kita sebagai penerus bangsa harus menjadi orang yang memiliki kehidupan yang lebih baik untuk dirisendiri, Negara, dan bangsa. Buktinya tokoh aku ingin melihat Negara Indonesia menjadi maju dengan masyarakat yang terus berusaha mencari nafkah dengan pekerjaan yang lebih baik dan mengurangi tingkat populasi pengemis maupun gelandangan.
- Nilai agama adalah kita sebagai umat islam harus selalu berusaha dengan segenap kemampuan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Allah SWT. Butinya : tokoh aku tidak suka melihat seorang pengemis yang meminta-minta, sedangkan dalam agama Allah SWT menganjurkan umatnya untuk berusaha selama ia bisa melakukannya.
- Nilai budaya adalah kita sebagai generasi penerus harus melestarikan kebiasaan yang baik dan menjauhi kebiasaan yang buruk. Buktinya : melakukan si pengemis akan menjadikan pekerjaan meminta-minta sebagai kebiasaan sehingga ia malas untuk berusaha.
- Nilai pendidikan adalah kita sebagai penerus bangsa harus berusaha dalam belajar agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan berkecukupan.
- Latar Belakang Puisi
Analisis Puisi Sajak Putih Karya Chairil Anwar
A. Unsur IntrinsikSAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...Karya : Chairil Anwar
Struktur Fisik Puisi
- Diksi
Sajak merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan, kejujuran, dan keihklasan. Jadi, sajak putih berarti suara hati si aku yang sangat tulus dan jujur.
Pada bait I
- “Warna pelangi” adalah gambaran hati seorang pemuda yang sedang senang;
- “Bertudung sutra senja” yang dimaksud adalah pada sore hari;
- “Di hitam matamu kembang mawar dan melati” yang di maksud adalah bola matanya yang indah.
- “Sepi menyanyi” yang di maksud adalah memohon (do’a) kepada Allah;
- “Muka kolam air jiwa” yang di maksud adalah bersedih hati;
- “Dadaku memerdu lagu” yang di maksud adalah berkata dalam hati;
- “Menari seluruh aku” menggambarkan rasa kegembiraan.
- “Hidup dari hidupku, pintu terbuka” menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan dan ada jalan keluar;
- “Selama matamu bagiku menengadah” merupakan kiasan bahwa si gadis masih mencintai si aku, mau memandang wajah si aku;
- “Selama kau darah mengalir dari luka” yang di maksud adalah hidup si aku penuh harapan selama si gadis masih hidup wajar;
- “Antara kita Mati datang tidak membelah” menggambarkan sampai kematian tiba pun keduanya masih mencintai, dan tidak akan terpisahkan.
- Citraan
- Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris kedua dan kedelapan yaitu “Kau depanku dan menarik menari”.
- Citraan indera (pencium) terlihat pada bait keempat yaitu “Harum rambutmu”.
- Citraan indera (pendengaran) terlihat pada baris kelima yaitu “Sepi menyayi”.
- Kata-kata konkret
- Gaya Bahasa (Majas)
- Pada baris ketiga bait pertama, yaitu “Dihitam matamu kembang mawar dan melati”, merupakan majas metafora yang bersifat membandingkan sesuatu secara langsung. Mawar dan melati yang mekar menggambarkan sesuatu yang indah dan menarik, biasanya mawar itu berwarna merah yang menggambarka cinta dan melati putih menggambarkan kesucian. Jadi dalam mata si gadis tampak cinta yang tulus, menarik, dan mengikat.
- Majas repetisi pada baris kesembilan bait ketiga, yaitu terjadi pengulangan kata, “Hidup dari hidupku”, menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan.
- Pada baris 1 bait 1 yaitu, “Tari warna pelangi” merupakan bahasa kiasan personifikasi yang menggambarkan benda mati dapat digambarkan seolah-olah hidup. “Rambutmu mengalun bergelut senda” juga menggunakan bahasa kiasan personifikasi.
- Dalam bait kedua baris pertama, “Sepi menyanyi” adalah personifikasi karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang berteriak seperti air kolam kena angin.
- Majas Anatonomasia pada bait kesatu baris kedua yaitu, “Kau depanku bertudung sutra senja” yang menggunakan ciri fisik seseorang sebagai penggantinya.
- Rima dan ritma
Asonansi vokal (a)
“Kau depanku bertudung sutra senja” (baris kedua bait pertama).Asonansi vokal (i)
“Harum rambutmu mengalun bergelut senja” (baris keempat bait pertama).
“Bersandar pada tali warna pelangi” (bait pertama baris pertama).Dari asonansi vokal diatas dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tepat dan beraturan yakni irama vokal i i a a.
“Dihitam matamu kembang mawar dan melati” (bait pertama baris ketiga).
Struktur Batin Puisi
- Tema
- Perasaan
- Nada
Unsur nada optimis
Hidup dari hidupku, pintu terbukaUnsur nada kesetiaan
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah
- Amanat
B. Unsur Ekstrinsik
Sajak putih adalah sebuah puisi karya Chairil Anwar yang sarat akan nilai-nilai romantika. Ketulusan, kejujuran dan keikhlasan seorang pujangga dalam romantika cinta tersirat jelas di sini. Puisi ini menggambarkan ungkapan tulus perasaan penulis kepada kekasih yang sangat dipujanya pada pandangan pertama.
Seperti puisi-puisinya yang lain, dalam sajak putih Chairil Anwar ini penulis memilih bersembunyi di balik metafora dan kiasan-kiasan. Dalam puisi ini, Chairil anwar menggambarkan gelora hati ‘Aku’ terhadap seorang gadis yang mencuri hatinya dengan keindahan sore yang berpelangi. Begitu indah, menyenangkan namun juga mencemaskan karena akan berakhir senja yang sepi dan gelap. Perasaan cinta dalam sajak putih Chairil Anwar ini juga disembunyikan dalam kiasan indah. Bagaimana Chairil mengilustrasikan keindahan cinta dengan kembang mawar yang diharapkan bertemu dengan ketulusan hati si gadis yang diilustrasikan dengan melati, sangat indah dan menarik mencari dan menafsirkan teka-teki romantika cinta di balik puisi sajak putih Chairil Anwar ini.
Chairil Anwar selalu menyimpan semangat dan optimisme dalam puisinya, termasuk dalam sajak putih ini. Meski di bagian tengah puisi digambarkan bahwa romantika cinta antara ‘Aku’ dan si gadis hanya sebatas kekaguman saat melihat satu sama lain, tidak ada pembicaraan cinta dan rayuan yang terucap, tidak ada janji bertemu di berikan, hanya tatapan mata yang menyiratkan kekaguman yang menjadi pegangan. Namun ‘Aku’ tetap optimis bahwa ada masa yang akan mempersatukan mereka dalam kisah cinta yang suci.
Akan ada harapan, demikian akhir yang dikiaskan oleh Chairil dalam puisi ini. Hal ini sangat terlihat pada cuplikan kalimat berikut “Selama matamu bagiku menengadah”.
Begitulah ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar. Selalu melahirkan semangat dan optimisme untuk menggapai harapan. Chairil seakan berpesan pada pembacanya, bahwa selalu ada harapan selama usaha dan doa bersanding dalam langkah kaki kita.
C. Makna Puisi “Sajak Putih”
Dalam puisi sajak putih digambarkan gadis si aku pada suatu senja hari yang indah ia duduk dihadapan si aku. Ia besandar yang pada saat itu ada warna pelangi yaitu langit senja yang indah penuh dengan macam-macam warna. Gadis itu bertudung sutra diwaktu haru sudah senja. Sedangkan rambut gadis itu yang harum ditiup angin tampak seperti sedang bersenda gurau, dan dalam mata gadis yang hitam kelihatan bunga mawar dan melati yang mekar. Mawar dan melati yang mekar menggambarkan sesuatu yang indah dan menarik . Suasana pada saat itu sangat menyenangkan, menarik dan penuh keindahan yang membuat si aku haru dengan semua itu.
Dalam pertemuan kedua insan itu sepi menyanyi, malam dalam doa tiba yang menggambarkan tidak ada percakapan dari keduanya. Mereka hanya diam tanpa ada sepatah kata yang diucapkan seperti hanya ketika waktu berdoa. Hanya kata hati yang berkata dan tidak keluar suara. Kesepian itu mengakibatkan jiwa si aku bergerak seperti hanya permukaan kolam yang terisa air yang beriak tertiup angin. Dalam keadaan diam tanpa kata itu, didalam dada si aku terdengar lagu yang merdu yang menggambarkan kegembiraan. Rasa kegembiraan itu digambarkan dengan menari seluruh aku.
Hidup dari hidupku, pintu terbuka menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan dan ada jalan keluar serta masih ada harapan yang pasti bisa diwujudkan selama gadis kekasihnya masih menengadahkan mukanya ke si aku. Ini merupakan kiasan bahwa si gadis masih mencintai si aku, mau memandang kemuka si aku.
Begitu juga hidup si aku penuh harapan selama si gadis masih hidup wajar, dikiaskan dengan darahnya yang masih mengalir dan luka, sampai kematian tiba pun keduanya masih mencintai, dan tidak akan terpisahkan. Sajak merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan kejujuran, dsan keihklasan. Jadi sajak putih berarti suara hati si aku yang sangat tulus dan jujur.