Analisis Puisi Hampa karya Chairil Anwar
HAMPA
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
Karya: Chairil Anwar
A. Unsur Intrinsik
Puisi diatas
mengangkat tema yang sudah sangat lazim di masyarakat sehingga kita
sebagai pembaca tidak kesulitan dalam mengartikan arti tema tersebut.
Karena biasanya bila tema puisi mudah diterima ( easy accepting)
dimasyarakat itu akan membawa minat pembaca itu sendiri untuk meneruskan
membaca isi puisi tersebut atau tidak.
Pada puisi diatas
sang penyair menggunakan bahasa kesehariannya. Sehingga kita mudah
mengartikan maksud dari puisi tersebut. Dengan intonasi yang tepat maka
kita akan bisa mengerti makna dari isi puisi tersebut. Meskipun pada
puisi Chairil Anwar diatas tidak semuanya menggunakan kata yang tepat (
tepat sesuai KBBI ) cotontoh pada kata “pohonan” yang harus nya
“pepohonan”.
Di dalam puisi
diatas sangat tergambar bahwa penyair merasa kesepian dalam penantian
seseorang yang sangat berarti untuknya. Di suasana hati yang sangat
merasa kesepian dia hanya bias menanti dan menanti sampai datang nya
sang pujaan hati.
a) Nada
Didalam
puisi diatas penyair menggunakan nada-nada yang lugas dan tepat dan
menggunakan penekanan-penekanan di beberapa kata yang ditunjukkan untuk
memperjelas maksud dari puisi tersebut.
b) Suasana
Suasana
yang tergambar dari puisi diatas adalah suasana yang tak menentu gundah
gulana menantikan seseorang yang sangat kita nantikan namun tak kunjung
memberikan kepastian.
- Bahasa Figuratif ( Majas )
Didalam puisi “
Hampa “ Chairil Anwar menggunakan banyak sekali majas hiperbola (
berlebih-lebihan ). Contoh nya “Sepi.Tambah ini menanti jadi mencekik.
Memberat-mencekung punda,sampai binasa segala” yang artinya dalam
kesepian dia menunggu sampai membungkukkan pundaknya sampai tak sanggup
lagi menanti.
Amanat dalam
puisi ini adalah tentang kesetiaan seseorang yang menunggu orang yang
dia sayangi , meskipun lelah dan merasa tak sanggup lagi namun kita
harus tetap percaya bahwa semua hal akan indah pada waktunya.
B. Unsur Ekstrinsik
- Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Puisi
Nilai Kasih
sayang : kerinduan si penyair akan kehadiran seorang wanita yang di
idam-idamkan membuatnya merasakan hampa dalam hidupnya
Chairil Anwar
dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku),
adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96
karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia
dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi
modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940,
dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi
pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut
berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar
dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya bercerai,
dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan
Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati
Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan
Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang
tuanya selalu memanjakannya.Namun, Chairil cenderung bersikap keras
kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari
kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya
mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa
sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada
usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia
sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.
Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai
berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga
mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional
ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish,
Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis
tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung
terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Semasa kecil di Medan,
Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi
kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat jarang
berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal
dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa
pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu
menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha
tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling
Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di
depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan
ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi
Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil,
semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul
Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar
ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa
kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu
persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan
dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu
meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.
Rakannya,
Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu
tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan
mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami
bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil
sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan
Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis
itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis
Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak
berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil
yang tak berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan,
Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28
April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang
sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil
memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal
bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh
terbaik.
•Bait pertama,
larik pertama puisi HAMPA diawali dengan kata ‘sepi’, yang kemudian kata
‘sepi’ini ternyata menjadi kata kunci berikutnya. Pada bait pertama
kata ‘sepi’ menguasai isi tubuh puisi. Menggambarkan bagaimana
kekosongan perasaan Chairil saat itu, seperti yang sudah jelas terlukis
sejak penjudulan puisi, HAMPA.
Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak
Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak . Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Larik-larik di
atas menggambarkan suasana sepi yang teramat sangat. Sepi yang tadinya
hanya di luar sampai masuk hingga menekan, mendesak ke dalam, seakan
teramat besar dan berat sepi itu. Bahkan sepi yang teramat sangat itu
digambarkan Chairil hingga pepohonan saja tidak bergerak sedikit pun,
sampai ke puncak pohon. Tidak ada angin semilir yang bisa membuat suara
gesekan daun. Keadaan teramat sepi. Hingga sepi itu memagut, seakan
menggigit atau memeluk dengan erat dan tak satu pun yang kuasa untuk
terhindar dari sepi itu atau bahkan menolong seseorang untuk terhindar
dari sepi itu.
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi.
Larik di atas
bisa menggambarkan bentuk kekesalan Chairil atas penantian-penantian
yang dilakukannya terhadap wanita yang dimaksudnya dalam puisi ini. Dan
juga bisa menunjukkan keputus-asaan Chairil dengan perasaannya, yang
akhirnya hanya akan berujung pada sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencengkung pundak
Lewat larik di
atas, Chairil merasakan sebuah penantian atas wanitanya yang semakin
lama semakin membuat perasaannya sulit. Memberatkan pikirannya, menjadi
beban bagi dirinya (seperti ada beban di pundak yang sangat berat,
hingga pundak mencengkung menahan beban itu).
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Larik di atas
seolah mengungkapkan, akibat terlalu sulitnya perasaan yang Chairil
rasakan, dan hanya sepi yang menjadi jawaban, maka perasaan itu menjadi
binasa, putus asa, kosong, hampa. Belum ada hasil yang ia dapati dari
rasanya pada sang wanita, entah itu rasa ingin memiliki, atau sekadar
kerinduan, namun kehampaan yang teramat yang ia rasakan, membuat segala
harapan seakan binasa.
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan tiada
Udara bertuba. Setan bertempik
Menggambarkan
suasana yang sudah sangat tidak nyaman. Udara seakan menjadi penuh
racun, sesak, dan setan-setan bersorak riuh, berteriak, membuat suasana
semakin kacau. Seakan menjadi gelap. Keadaan hampa yang digambarkan
Chairil begitu dalam, sunyi, dan suram. Ini sepi terus ada. Dan tiada –
sepi itu tak kunjung hilang, bahkan Chairil berpikir, hidupnya memang
terkukung sepi, sepi itu terus ada hingga menjadi kebiasaan, dan seakan
tiada sepi. Karena memang sepi sudah menjadi bagian darinya. Seperti
sudah pasrah terbiasa.
Dari keseluruhan analisis tubuh puisi HAMPA,
jelas puisi ini menggambarkan sebuah kedukaan perasaan seseorang yang
tertimpa sepi dalam segala penantiannya. Kekosongan hatinya yang ia
rasakan begitu sangat, dan terlebih ketika ia teringat pada wanita yang
disukainya. Seakan kehampaan itu semakin menjadi-jadi karena tidak bisa
memiliki wanita itu. Bisa jadi, seperti menggambarkan juga tentang cinta
sepihak. Dan pada akhirnya ia hanya akan menjadi biasa dengan sepi yang
terus ada itu.
Lewat puisi HAMPA ini, Chairil begitu dalam
menggambarkan bentuk kesepian, kehampaan yang ia rasakan. Bentuk
kerinduan yang sunyi terhadap Sri. Dan perlu diketahui, memang saat
menulis puisi ini, Chairil sedang menaruh hati pada Sri
Analisis Puisi Aku Karya Cahiril Anwar
AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar
Maret 1943
A. MAKNA PUISI ‘AKU’
Dengan membaca dan memahami makna puisi Aku karya Chairil Anwar, ada
banyak hal yang bisa dipelajari. Khususnya, bagi generasi yang hidup di
era kemerdekaan. Karena, pada generasi ini, tentu tidak pernah hidup dan
mengalami secara nyata apa yang terjadi di era awal kemerdekaan
Indonesia. Beberapa makna puisi Aku, di antaranya adalah :
- Wujud kesetiaan dan keteguhan hati atas pilihan kebenaran yang
diyakininya. Hal ini tercermin melalui dua kalimat di awal puisi
tersebut, yakni “Kalau sampai waktuku 'Ku mau tak seorang kan merayu”
- Keberanian dalam berjuang meskipun banyak resiko yang akan dihadapi.
Termasuk resiko untuk kehilangan nyawa atau terluka karena senjata
musuh. Inilah yang digelorakan oleh Chairil Anwar, yang tersurat pada
bait ketiga puisi tersebut.
- Semangat yang tak pernah padam. Sebagaimana yang dinyatakan melalui
kalimat “aku mau hidup seribu tahun lagi”. Hal tersebut adalah cermin
dan betapa semangat Chairil Anwar untuk berjuang, tidak ingin dibatasi
oleh waktu
B. UNSUR INTRINSIK PUISI ‘AKU’
Tema pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan kegigihan
dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu
penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu
memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak
rintangan yang ia hadapi. Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini
menceritakan kisah ‘AKU’ yang mencari tujuan hidup.
Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata
yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah
kata-katanya. Seperti pada baris kedua: bait pertama “Ku mau tak seorang
’kan merayu” merupakan pengganti dari kata “ku tahu”. “Kalau sampai
waktuku” dapat berarti “kalau aku mati”, “tak perlu sedu sedan“dapat
berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”. “Tidak juga kau” dapat
berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
Rasa adalah sikap penyeir terhadap pokok permasalahan yang terdapat pada
puisinya.Pada puisi “Aku” karya Chairil Awar merupakan eskpresi jiwa
penyair yang menginginkan kebebasan dari semua ikatan. Di sana penyair
tidak mau meniru atau menyatakan kenyataan alam, tetapi mengungkapkan
sikap jiwanya yang ingin berkreasi. Sikap jiwa “jika sampai waktunya”,
ia tidak mau terikat oleh siapa saja, apapun yang terjadi, ia ingin
bebas sebebas-bebasnya sebagai “aku”. Bahkan jika ia terluka, akan di
bawa lari sehingga perih lukanya itu hilang. Ia memandang bahwa dengan
luka itu, ia akan lebih jalang, lebih dinamis, lebih vital, lebih
bergairah hidup. Sebab itu ia malahan ingin hidup seribu tahun lagi.
Uraian di atas merupakan yang dikemukakan dalam puisi ini semuanya
adalah sikap chairil yang lahir dari ekspresi jiwa penyair.
a.) Nada
Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa,
tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak
bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan
nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih.
b.) Suasana
Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh
perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada
beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut
menceritakan ada beberapa orang yang tak mengaangap perjuangannya si
tokoh.
Dalam puisi tersebut menggunakan majas hiperbola pada kalimat “Aku tetap
meradang menerjang”. Terdapat juga majas metafora pada kalimat “Aku ini
binatang jalang”.
Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :‘Ku mau
tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran), ‘Tak perlu sedu sedan itu’
(Imaji Pendengaran), ‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa),
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
Amanat adalah hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Amanat berhubungan dengan makna karya sastra. Makna bersifat kias,
subjektif, dan umum. Makna berhubungan dengan individu, konsep seseorang
dan situasi tempatpenyair mengimajinasikan puisinya.Amanat dalam Puisi
‘Aku’ karya Chairil Anwar yang dapat saya simpulkan dan dapat kita
rumuskan adalah sebagai berikut :
- Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang.
- Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja.
- Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya.
C. UNSUR EKSTRINSIK
- Chairil Anwar di Medan, 22 Juli 1922.
- Mulai muncul di dunia kesenian pada zaman Jepang.
- Dilihat dari esai-esai dan sajak-sajaknya terlihat bahwa ia seorang
yang individualis yang bebas dan berani dalam menentang lembaga sensor
jepang.
- Chairil pun seorang yang mencintai tanah air dan bangsanya, hal ini
tampak pada sajak-sajaknya: Diponegoro, Karawang-Bekasi, Persetujuan
dengan Bung Karno, dll.
- Hubungan Karya Sastra Dengan kondisi sosial masyarakat Pada Saat
Karya Sastra Lahir Sajak AKU ini, banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial
masyarakat pada zaman itu. Bahkan sebagai akibat dari lahirnya sajak
AKU ini, Chairil Anwar ditangkap dan dipenjara oleh Kompetai Jepang. Hal
ini karena sajaknya terkesan membangkang terhadap pemerintahan Jepang.
- Sajak AKU ini ditulis pada tahun 1943, di saat jaman pendudukan Jepang.
- Kondisi masyarakat pada waktu itu sangat miskin dan menderita.
- Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Jepang, tanpa mampu berbuat banyak untuk kemerdekannya.
- Kerja paksa marak terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.
- Bangsa Indonesia menjadi budak di negaranya sendiri.
Chairil Anwar mulai banyak dikenal oleh masyarakat dari puisinya yang
paling terkenal berjudul Semangat yang kemudian berubah judul menjadi
Aku. Puisi yang ia tulis pada bulan Maret tahun 1943 ini banyak menyita
perhatian masyarakat dalam dunia sastra. Dengan bahasa yang lugas,
Chairil berani memunculkan suatu karya yang belum pernah ada sebelumnya.
Pada saat itu, puisi tersebut mendapat banyak kecaman dari publik
karena dianggap tidak sesuai sebagaimana puisi-puisi lain pada zaman itu
Puisi yang sebelumnya berjudul Semangat ini terdapat dua versi yang
berbeda. Terdapat sedikit perubahan lirik pada puisi tersebut. Kata ‘ku
mau’ berubah menjadi ‘kutahu’. Pada kata ‘hingga hilang pedih peri’,
menjadi ‘hingga hilang pedih dan peri’. Kedua versi tersebut terdapat
pada kumpulan sajak Chairil yang berbeda, yaitu versi Deru Campur Debu,
dan Kerikil Tajam. Keduanya adalah nama kumpulan Chairil sendiri, dibuat
pada bulan dan tahun yang sama. Mungkin Chairil perlu uang, maka
sajaknya itu dimuat dua kali, agar dapat dua honor (Aidit:1999).
Penjelajahan Chairil Anwar berpusar pada pencariannya akan corak bahasa
ucap yang baru, yang lebih ‘berbunyi’ daripada corak bahasa ucap
Pujangga Baru. Chairil Anwar pernah menuliskan betapa ia betul-betul
menghargai salah seorang penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang telah
mampu mendobrak bahasa ucap penyair-penyair sebelumnya. Idiom ‘binatang
jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu
pendobrakan akan tradisi bahasa ucap Pujangga Baru yang masih cenderung
mendayu-dayu.
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit
untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas
menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya,
puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah,
seperti Chairil sendiri.
1. Pada lirik pertama, chairil berbicara masalah waktu seperti pada kutipan (1).
Kalau sampai waktuku
Waktu yang dimaksud dalam kutipan (1) adalah sampaian dari waktu atau
sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. Chairil adalah penyair yang
sedang dalam pencarian bahasa ucap yang mampu memenuhi luapan
ekspresinya sesuai dengan yang diinginkannya, tanpa harus memperdulikan
bahasa ucap dari penyair lain saat itu. Chairil juga memberikan awalan
kata ‘kalau’ yang berarti sebuah pengandaian. Jadi, Charil
berandai-andai tentang suatu masa saat ia sampai pada apa yang ia cari
selama ini, yaitu penemuan bahasa ucap yang berbeda dengan ditandai
keluarnya puisi tersebut.
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Pada kutipan (2) inilah watak Charil sangat tampak mewarnai sajaknya. Ia
tahu bahwa dengan menuliskan puisi Aku ini akan memunculkan banyak
protes dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan penyair. Memang
dasar sifat Chairil, ia tak menanggapi pembicaraan orang tentang
karyanya ini, karena memang inilah yang dicarinya selama ini. Bahkan
ketidakpeduliannya itu lebih dipertegas pada lirik selanjutnya pada
kutipan (3).
Tidak juga kau
Kau yang dimaksud dalam kutipan (3) adalah pembaca atau penyimak dari
puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua
orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu
baik, atau pun buruk.
Berbicara tentang baik dan buruk, bait selanjutnya akan berbicara
tentang nilai baik atau buruk dan masih tentang ketidakpedulian Chairil
atas keduanya.
Tidak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Zaini, salah seorang Sahabat Chairil pernah bercerita, bahwa ia
pernah mencuri baju Chairil dan menjualnnya. Ketika Chairil mengetahui
perbuatan sahabatnya itu, Chairil hanya berkata, “Mengapa aku begitu
bodoh sampai bisa tertipu oleh kau”. Ini menunjukkan suatu sikap hidup
Chairil yang tidak mempersoalkan baik-buruknya suatu perbuatan, baik itu
dari segi ketetetapan masyarakat, maupun agama. Menurut Chairil, yang
perlu diperhatikan justru lemah atau kuatnya orang.
Dalam kutipan (4), ia menggunakan kata ‘binatang jalang’, karena ia
ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas,
sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya
adalah binatang liar. Karena itulah ia ‘dari kumpulannya terbuang’.
Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia ‘dari kumpulannya
terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam
kumpulannya.
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Peluru tak akan pernah lepas dari pelatuknya, yaitu pistol. Sebuah
pistol seringkali digunakan untuk melukai sesuatu. Pada kutipan (5),
bait tersebut tergambar bahwa Chairil sedang ‘diserang’ dengan adanya
‘peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang
merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang
dan terluka, Chairil masih memberontak, ia ‘tetap meradang menerjang’
seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga
menunjukkan sikap Chairil yang tak mau mengalah.
Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak
ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia
tuliskan pada lirik selanjutnya.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Inilah yang menegaskan watak dari penyair atau pun dari puisi ini, suatu
ketidakpedulian. Pada kutipan (6), bait ini seolah menjadi penutup dari
puisi tersebut. Sebagaimana sebuah karya tulis, penutup terdiri atas
kesimpulan dan harapan. Kesimpulannya adalah ‘Dan aku akan lebih tidak
perduli’, ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih
hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang
diinginkannya.
Disamping Chairil ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca,
dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari Chairil, bahwa manusia itu
adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu,
janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal
itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, Chairil juga
ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya.
Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk
penilaian itu.
Analisis Puisi Kepada Peminta-Minta Karya Chairil Anwar
A. Makna Puisi “Kepada Peminta-Minta”
Karya : Chairil Anwar
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan
apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu
dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju
dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis
terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
“ Tokoh aku yang tidak suka mendengar si pengemis meminta-minta sambil
memasang wajah susah dan sengsara, bahkan walau keringat banyak
bercucuran ia tetap meminta dengan nada yang kasihan sampai ada yang
memberinya uang”.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengeerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau dating
Sembarang kau merebah.
“ Dari sudut pandang tokoh aku ia melihat si pengemis selalu meminta
belas kasihan di setiap lanngkahnya, mengiba disetiap pandangannya, dan
menangis setiap saat dan dia selalu tidur dimanapun dia berada”.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
“ Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya
berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin
mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si
pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta-minta”.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dari segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan
apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu
dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju
dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis
terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.
B. Unsur Intrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”Unsur
intrinsik puisi adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam naskah puisi
tersebut. Adapun unsur-unsur intrinsic puisi yang berjudul “Kepada
Peminta-minta” meliputi:
Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok
pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi
landasan utama pengucapannya. Tema puisi yang berjudul ”Kepada
Peminta-minta” adalah keperihatinan dan ketidak setujuan. Disini tokoh
aku tidak suka melihat pengemis mencari nafkah dengan cara
meminta-minta, walaupun kehidupan sangat rumit namun tokoh aku berharap
pengemis mencari nafkah dengan cara yang lebih baik.
Tipografi disebut juga ukiran bentuk puisi. Tipografi adalah tatanan larik, bait, dan baris.
No
|
Bentuk Puisi
|
Kepada Peminta-minta
|
1
|
Bait
|
Terdapat 5 bait
|
2
|
Baris
|
Tiap bait terdiri dari 4 baris
|
Perasaan
dalam menciptakan puisi, suasana perasaan penyair ikut diekspresikan dan
harus dapat dihayati oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang sama,
penyair yang satu dengan perasaan yang berbeda dari penyair lainnya.
Perasaan yang terdapat dalam “Kepada Peminta-minta” mampu
mengungkapkan isi hati penyair yang begitu menginginkan pengemis untuk
tidak lagi meminta-minta dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Penggunaan
kata-katanya sederhana namun dapat membangkitkan perasaan pembaca yang
ingin melihat perubahan terhadap cara untuk mencari nafkah. Dalam
kalimat
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaum di telingaku.
Penyair mengungkapkan perasaan yang ingin diutarakan kepada pengemis
dimana Tokoh aku selalu kepikiran dengan sikap si pengemis, Membuatnya
berpikir tentang kehidupan yang begitu sulit dan rumit, namun ia ingin
mengatakan sesuatu yang selalu menjanggal dipikirannya kepada si
pengemis agar mencari nafkah yang lebih baik dari pada meminta.
Nada berkaitan erat dengan suasana. Nada bahagia yang diciptakan penyair
dapat menimbulkan perasaan senang pada pembaca setelah membaca puisi.
Nada religius menimbulkan suasana khusyuk pada pembaca. Nada kritik
menimbulkan suasana pemberontakan pada hati pembaca. Begitulah sangat
eratnya hubungan nada dan suasana. Puisi “Kepada Peminta-minta” bernada
terpaksa seperti yang ditunjukkan oleh kalimat
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
“ Seorang tokoh aku yang merasa iba kepada si pengemis dan memberikan
apa yang ia punya dengan terpaksa. Tokoh aku terganggu dan risih selalu
dipandang terus-menerus oleh pengemis, sebenarnya tokoh aku tidak setuju
dengan cara si pengemis mencari nafkah dan mengatakan jika si pengemis
terus seperti ini ia tidak akan iba lagi”.
Suasana yang timbul akibat
nada yang disodorkan penyair tersebut membuat pembaca setuju bahwa
dalam mencari nafkah tidak seharusnya dengan cara meminta-minta selama
kita masih mampu untuk berusaha.
Persoalan pemilihan kata merupakan masalah yang sungguh-sungguh esensial
untuk melukiskan dengan sejelas-jelasnya wujud dan perincian materi.
Diksi sendiri berarti pemilihan kata, yaitu pemilihan kata yang
digunakan penyair untuk mencari kata yang tepat dan sesuai dengan bentuk
puisi dan tema yang dikandungnya, sehingga menghasilkan jiwa penyair
secara tepat, setidak-tidaknya mendekati kebenaran.
Kata-kata yang
dipergunakan dunia persajakan di samping memiliki arti denotatif dapat
pula memiliki arti konotatif. Berikut perbandingan pemakaian kata-kata
konotatif dalam puisi ” Kepada Peminta-minta” tersebut:
Bait
|
Kepada Peminta-minta
|
|
1
|
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)
|
|
2
|
Nanti
darahku menjadi beku
(baris
4)
|
|
|
3
|
Nanah meleleh dari muka
(baris 1)
|
|
4
|
Mengerang
tiap kau memandang
(baris
2)
|
|
5
|
Menghempas
diri di bumi keras
(baris
2)
|
|
6
|
Menyerahkan diri dan segala dosa
(baris 2)
|
|
7
|
Nanti
darahku menjadi beku
(baris
4)
|
|
Citraan atau imagi (imageri) adalah gambaran angan yang timbul setelah
seseorang membaca karya sastra dalam hal ini puisi. Imageri dapat kita
pakai sebagai hal untuk memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran
manusia dan nantinya akan menjelmakan gambaran nyata. Citraan yang
terdapat dalam puisi “Kepada Peminta-minta” meliputi citraan
penglihatan, citraan pendengaran, dan citraan gerak. Berikut ini citraan
yang terdapat pada puisi tersebut:
Citraan
|
Kepada
Peminta-minta
|
|
Penglihatan
|
Nanti
darahku jadi beku
(bait 1
& 5, baris 4)
|
|
Telah
tercacar semua di muka
(bait 2,
baris 2 )
|
|
Nanah
meleleh dari muka
(bait 2,
baris 3)
|
|
Sembarang
kau merebah
(bait 3,
baris 4)
|
|
|
Pendengaran
|
Bersuara
tiap kau memandang
(bait 3,
baris 1)
|
|
Mengaum
di telingaku
(bait 4,
baris 4)
|
|
Gerak
|
Sambil
berjalan kau usap jua
(bait 2,
baris 4)
|
|
Bahasa FiguratifDalam puisi Kepada Peminta-minta karya
Chairil Anwar terdapat bahasa figuratif yang muncul yaitu pada baris ke 4
dan 21. Merupakan majas hiperbola yang bersifat berlebih-lebihan.
Muncul majas hiperbola dari kata nanti darahku jadi beku. Selain itu
pula muncul majas repetisi pada baris 1 dan 18. Terjadi pengulangan pada
kata baik, dalam konteksnya yaitu baik, baik aku akan menghadap Dia.
Verifikasi adalah berupa rima (persamaan bunyi pada puisi, di awal, di
tengah, dan di akhir); ritma (tinggi-rendah, panjang-pendek,
keras-lemahnya bunyi). Vertifikasi yang terdapat dalam puisi ”Kepada
Peminta-minta” adalah bait pertama dan bait kelima.
Majas adalah cara penyair menjelaskan pikirannya melalui gaya bahasa
yang indah dalam bentuk puisi. Gaya bahasa yang terdapat dalam puisi
“Kepada Peminta-minta” adalah hiperbola. Berikut ini gaya bahasa
hiperbola yang terdapat dalam puisi tersebut:
Gaya Bahasa
|
Kepada Peminta-minta
|
Hiperbola
|
Nanti darahku jadi beku
(bait 1 dan 5, baris 4)
|
Nanah
meleleh dari muka
(bait 2,
baris 3)
|
Menghempas
diri di bumi keras
(bait 4,
baris 2)
|
Mengaum
di telingaku
(bait 4
baris 4)
|
Amanat atau pesan adalah sesuatu yang ingin disampaikan penyair melalui
karyanya. Amanat puisi “Kepada Peminta-minta” adalah ajakan penyair
kepada pembaca agar tetap berusaha dalam mencari nafkah untuk dirinya
sendiri serta keluarganya dan mencari pekerjaan yang lebih baik.
C. Unsur Ekstrinsik Puisi “Kepada Peminta-minta”
Unsur biografi adalah latar belakang atau riwayat hidup penulis.
Chairil
Anwar dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang
berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia. Ia diperkirakan telah
menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin,
ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus
puisi modern Indonesia. Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940,
dimana ia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi
pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Pusinya menyangkut
berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan
eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil
Anwar dibesarkan dalam keluarga yang kurang harmonis. Orang tuanya
bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Ia merupakan anak satu-satunya dari
pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari kabupaten Lima Puluh
Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati
Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan
Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang
tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung bersikap keras
kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun; sedikit cerminan dari
kepribadian orang tuanya. Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di
Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang
pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan
pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya
mencapai 18 tahun, ia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa
sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi seorang seniman. Pada
usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya
pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia
sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya.
Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai
berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman.
Chairil
Anwar juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang
internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden,
Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J.Slaurhoff, dan Edgar du Perron.
Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak
langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia. Semasa kecil di
Medan, Chairil Anwar sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu
memberi kesan kepada hidup Chairil Anwar. Dalam hidupnya yang amat
jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya
meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar
biasa pedih:
Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu
menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha
tuan bertahta
Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling
Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di
depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan
ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi
Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya. Sejak kecil, semangat
Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan,
pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika
semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa
kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu
persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya.
Keinginan
dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu
meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam. Rakannya,
Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu
tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan
mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami
bertanding di depan para gadis.”
Wanita adalah dunia Chairil
sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan
Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis
itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis
Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya. Pernikahan itu tak berumur
panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak
berubah, Hapsah meminta pisah. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun
menjadi duda. Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949,
Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang
pasti, TBC kronis dan sipilis.Umur Chairil memang pendek, 27 tahun.
Tapi
kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan
Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak
bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang
membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus
meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya
minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan
dengan dunia Chairil Anwar.”
- Unsur nilai dalam cerita meliputi nilai ekonomi, politik, sosial, adat-istiadat, budaya, dan lain-lain.
- Nilai ekonomi adalah kita harus berusaha mencari nafkah dan
pekerjaan yang lebih baik, buktinya : tokoh aku menginginkan si pengemis
mencari nafkah dengan cara yang lebih baik, sehingga si pengemis bisa
mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik daripada meminta-minta.
- Nilai sosial adalah kita sesama manusia harus saling membantu dan
tolong menolong. Buktinya : tokoh aku membantu si pengemis dengan cara
memberikannya uang dan nasihat.
- Nilai politik adalah kita sebagai penerus bangsa harus menjadi orang
yang memiliki kehidupan yang lebih baik untuk dirisendiri, Negara, dan
bangsa. Buktinya tokoh aku ingin melihat Negara Indonesia menjadi maju
dengan masyarakat yang terus berusaha mencari nafkah dengan pekerjaan
yang lebih baik dan mengurangi tingkat populasi pengemis maupun
gelandangan.
- Nilai agama adalah kita sebagai umat islam harus selalu berusaha
dengan segenap kemampuan sebagaimana yang telah dianjurkan oleh Allah
SWT. Butinya : tokoh aku tidak suka melihat seorang pengemis yang
meminta-minta, sedangkan dalam agama Allah SWT menganjurkan umatnya
untuk berusaha selama ia bisa melakukannya.
- Nilai budaya adalah kita sebagai generasi penerus harus melestarikan
kebiasaan yang baik dan menjauhi kebiasaan yang buruk. Buktinya :
melakukan si pengemis akan menjadikan pekerjaan meminta-minta sebagai
kebiasaan sehingga ia malas untuk berusaha.
- Nilai pendidikan adalah kita sebagai penerus bangsa harus berusaha
dalam belajar agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan
berkecukupan.
Pada puisi ”Kepada Peminta-minta” penyair menggambarkan bahwa ia merasa
kecewa serta marah terhadap pengemis dan ia ingin si pengemis mencari
nafkah dengan cara yang lebih baik, sehingga penyair menggambarkan
perasaannya melalui puisi ini.
Analisis Puisi Sajak Putih Karya Chairil Anwar
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...
Karya : Chairil Anwar
A. Unsur Intrinsik
Struktur Fisik Puisi
Diksi merupakan makna kiasan yang harus dipahami secara seksama dan menyeluruh, seperti:
Sajak
merupakan kiasan suara hati si penyair, suara hati si aku. Putih
mengiaskan ketulusan, kejujuran, dan keihklasan. Jadi, sajak putih
berarti suara hati si aku yang sangat tulus dan jujur.
Pada bait I
- “Warna pelangi” adalah gambaran hati seorang pemuda yang sedang senang;
- “Bertudung sutra senja” yang dimaksud adalah pada sore hari;
- “Di hitam matamu kembang mawar dan melati” yang di maksud adalah bola matanya yang indah.
Pada bait II
- “Sepi menyanyi” yang di maksud adalah memohon (do’a) kepada Allah;
- “Muka kolam air jiwa” yang di maksud adalah bersedih hati;
- “Dadaku memerdu lagu” yang di maksud adalah berkata dalam hati;
- “Menari seluruh aku” menggambarkan rasa kegembiraan.
Pada bait III
- “Hidup dari hidupku, pintu terbuka” menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan dan ada jalan keluar;
- “Selama matamu bagiku menengadah” merupakan kiasan bahwa si gadis masih mencintai si aku, mau memandang wajah si aku;
- “Selama kau darah mengalir dari luka” yang di maksud adalah hidup si aku penuh harapan selama si gadis masih hidup wajar;
- “Antara kita Mati datang tidak membelah” menggambarkan sampai
kematian tiba pun keduanya masih mencintai, dan tidak akan terpisahkan.
Citraan dalam karya sastra berperan untuk menimbulkan pembayangan imajinatif bagi pembaca melalui ungkapan tidak langsung.
- Citraan visual (penglihatan) terlihat pada baris kedua dan kedelapan yaitu “Kau depanku dan menarik menari”.
- Citraan indera (pencium) terlihat pada bait keempat yaitu “Harum rambutmu”.
- Citraan indera (pendengaran) terlihat pada baris kelima yaitu “Sepi menyayi”.
Pada puisi ini ditemukan diksi yang berupa kata-kata konkret yang dapat
membangkitkan citraan seperti penglihatan, penciuman, pendengaran.
Kata-kata konkret tersebut sangat jelas menunjukan sikap tindakan baik
dari penyair maupun dari pembaca. Kata-kata konkret tersebut bertujuan
untuk menggambarkan unsur-unsur puisi secara tepat agar pembaca dapat
merasakan keadaan yang dirasakan penyair.
Dalam puisi “Sajak Putih” gaya bahasa (majas) yang muncul yaitu:
- Pada baris ketiga bait pertama, yaitu “Dihitam matamu kembang mawar
dan melati”, merupakan majas metafora yang bersifat membandingkan
sesuatu secara langsung. Mawar dan melati yang mekar menggambarkan
sesuatu yang indah dan menarik, biasanya mawar itu berwarna merah yang
menggambarka cinta dan melati putih menggambarkan kesucian. Jadi dalam
mata si gadis tampak cinta yang tulus, menarik, dan mengikat.
- Majas repetisi pada baris kesembilan bait ketiga, yaitu terjadi
pengulangan kata, “Hidup dari hidupku”, menggambarkan bahwa si aku
merasa hidupnya penuh dengan kemungkinan.
- Pada baris 1 bait 1 yaitu, “Tari warna pelangi” merupakan bahasa
kiasan personifikasi yang menggambarkan benda mati dapat digambarkan
seolah-olah hidup. “Rambutmu mengalun bergelut senda” juga menggunakan
bahasa kiasan personifikasi.
- Dalam bait kedua baris pertama, “Sepi menyanyi” adalah personifikasi
karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti
waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah
yang berteriak seperti air kolam kena angin.
- Majas Anatonomasia pada bait kesatu baris kedua yaitu, “Kau depanku
bertudung sutra senja” yang menggunakan ciri fisik seseorang sebagai
penggantinya.
Puisi “Sajak Putih” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vokal
/a/, /i/, dan /u/. Asonansi vokal /a/ terdapat pada baris puisi yaitu
baris 2, 4, 5, 6, 9, 10, 11, dan 12. Misalnya:
Asonansi vokal (a)
“Kau depanku bertudung sutra senja” (baris kedua bait pertama).
“Harum rambutmu mengalun bergelut senja” (baris keempat bait pertama).
Asonansi vokal (i)
“Bersandar pada tali warna pelangi” (bait pertama baris pertama).
“Dihitam matamu kembang mawar dan melati” (bait pertama baris ketiga).
Dari asonansi vokal diatas dapat disimpulkan bahwa puisi ini mempunyai irama yang tepat dan beraturan yakni irama vokal i i a a.
Struktur Batin Puisi
Tema dalam puisi “Sajak Putih” adalah “Percintaan”. Dalam puisi Sajak
Putih menceritakan seorang gadis yang sangat cantik yang mempunyai cinta
yang sangat tulus dan memikat terhadap seorang pria yang membuat pria
tersebut merasa terharu dan tertarik terhadapnya. Tetapi kedua insan
tersebut belum ada kesiapan untuk saling menyatakan perasaannya
masing-masing, mereka hanya diam tanpa ada sepatah kata yang diucapakn,
mereka hanya berbicara didalam hatinya masing–masing, tetapi si pria
tersebut mempunyai banyak harapan bahwa gadis tersebut mencintainya.
Kedua insan tersebut berjanji bahwa sampai kapanpun mereka tak akan
terpisahkan.
Perasaan yang ditekankan pada puisi ini adalah rasa bahagia karena kedua
insan yang tadinya tidak mempunyai keberanian untuk saling menyatakan
perasannya, tetapi pada akhirnya mereka mempunyai keberanian untuk
saling menyatakaan perasaannya. Karena cinta yang dimiliki oleh kedua
insan tersebut sangat tulus dan suci.
Nada yang ditunjukan dalam puisi “Sajak Putih” ini adalah kegembiraan
dan kebahagiaan. Nada gembira dan bahagia ini muncul karena, rasa
gembira seorang pria yang memiliki seorang gadis yang mempunyai cinta
yang sangat tulus dan suci terhadapnya yang terlihat pada kata tali
warna pelangi, sutra senja, menarik menari. Maka munculah benih-benih
cinta diantara mereka. Unsur nada dalam puisi ini adalah optimis, dan
kesetiaan.
Unsur nada optimis
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Unsur nada kesetiaan
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah
Dalam puisi ini amanat yang disampaikan oleh penyair adalah bahwa jika
kita mencintai seseorang harus berani untuk menyatakaan perasaan kita
masing-masing, menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan kita,
dan berusahalah untuk selalu mencintai dan ada disisinya sampai hembusan
nafas terakhir
B. Unsur EkstrinsikSajak putih adalah
sebuah puisi karya Chairil Anwar yang sarat akan nilai-nilai romantika.
Ketulusan, kejujuran dan keikhlasan seorang pujangga dalam romantika
cinta tersirat jelas di sini. Puisi ini menggambarkan ungkapan tulus
perasaan penulis kepada kekasih yang sangat dipujanya pada pandangan
pertama.
Seperti puisi-puisinya yang lain, dalam sajak putih Chairil
Anwar ini penulis memilih bersembunyi di balik metafora dan
kiasan-kiasan. Dalam puisi ini, Chairil anwar menggambarkan gelora hati
‘Aku’ terhadap seorang gadis yang mencuri hatinya dengan keindahan sore
yang berpelangi. Begitu indah, menyenangkan namun juga mencemaskan
karena akan berakhir senja yang sepi dan gelap. Perasaan cinta dalam
sajak putih Chairil Anwar ini juga disembunyikan dalam kiasan indah.
Bagaimana Chairil mengilustrasikan keindahan cinta dengan kembang mawar
yang diharapkan bertemu dengan ketulusan hati si gadis yang
diilustrasikan dengan melati, sangat indah dan menarik mencari dan
menafsirkan teka-teki romantika cinta di balik puisi sajak putih Chairil
Anwar ini.
Chairil Anwar selalu menyimpan semangat dan optimisme
dalam puisinya, termasuk dalam sajak putih ini. Meski di bagian tengah
puisi digambarkan bahwa romantika cinta antara ‘Aku’ dan si gadis hanya
sebatas kekaguman saat melihat satu sama lain, tidak ada pembicaraan
cinta dan rayuan yang terucap, tidak ada janji bertemu di berikan, hanya
tatapan mata yang menyiratkan kekaguman yang menjadi pegangan. Namun
‘Aku’ tetap optimis bahwa ada masa yang akan mempersatukan mereka dalam
kisah cinta yang suci.
Akan ada harapan, demikian akhir yang
dikiaskan oleh Chairil dalam puisi ini. Hal ini sangat terlihat pada
cuplikan kalimat berikut “Selama matamu bagiku menengadah”.
Begitulah
ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar. Selalu melahirkan semangat dan
optimisme untuk menggapai harapan. Chairil seakan berpesan pada
pembacanya, bahwa selalu ada harapan selama usaha dan doa bersanding
dalam langkah kaki kita.
C. Makna Puisi “Sajak Putih”Dalam
puisi sajak putih digambarkan gadis si aku pada suatu senja hari yang
indah ia duduk dihadapan si aku. Ia besandar yang pada saat itu ada
warna pelangi yaitu langit senja yang indah penuh dengan macam-macam
warna. Gadis itu bertudung sutra diwaktu haru sudah senja. Sedangkan
rambut gadis itu yang harum ditiup angin tampak seperti sedang bersenda
gurau, dan dalam mata gadis yang hitam kelihatan bunga mawar dan melati
yang mekar. Mawar dan melati yang mekar menggambarkan sesuatu yang indah
dan menarik . Suasana pada saat itu sangat menyenangkan, menarik dan
penuh keindahan yang membuat si aku haru dengan semua itu.
Dalam
pertemuan kedua insan itu sepi menyanyi, malam dalam doa tiba yang
menggambarkan tidak ada percakapan dari keduanya. Mereka hanya diam
tanpa ada sepatah kata yang diucapkan seperti hanya ketika waktu berdoa.
Hanya kata hati yang berkata dan tidak keluar suara. Kesepian itu
mengakibatkan jiwa si aku bergerak seperti hanya permukaan kolam yang
terisa air yang beriak tertiup angin. Dalam keadaan diam tanpa kata itu,
didalam dada si aku terdengar lagu yang merdu yang menggambarkan
kegembiraan. Rasa kegembiraan itu digambarkan dengan menari seluruh aku.
Hidup
dari hidupku, pintu terbuka menggambarkan bahwa si aku merasa hidupnya
penuh dengan kemungkinan dan ada jalan keluar serta masih ada harapan
yang pasti bisa diwujudkan selama gadis kekasihnya masih menengadahkan
mukanya ke si aku. Ini merupakan kiasan bahwa si gadis masih mencintai
si aku, mau memandang kemuka si aku.
Begitu juga hidup si aku penuh
harapan selama si gadis masih hidup wajar, dikiaskan dengan darahnya
yang masih mengalir dan luka, sampai kematian tiba pun keduanya masih
mencintai, dan tidak akan terpisahkan. Sajak merupakan kiasan suara hati
si penyair, suara hati si aku. Putih mengiaskan ketulusan kejujuran,
dsan keihklasan. Jadi sajak putih berarti suara hati si aku yang sangat
tulus dan jujur.